Kerajinan
Samak Tikar Mendong
Mendong
adalah salah satu tumbuhan yang hidup di rawa, tanaman ini tumbuh di daerah
yang berlumpur dan memiliki air yang cukup. Mendong merupakan salah satu jenis
rumput, dan biasanya tumbuh dengan panjang lebih kurang 100cm. Di daerah
Kecamatan Purbaratu, Kota Tasikmalaya, mendong biasanya dijadikan bahan dasar
untuk pembuatan tikar. dan sebelum di pergunakan, tanaman ini dijemur terlebih
dahulu hingga kering.
Kerajinan mendong sudah sangat terkenal berasal dari
Tasikmalaya. Mulai dari tikar,tempat pensil, dompet, tempat
sampah, tempat tisu, tempat toples, tas,pigura dan lainnya banyak dihasilkan para
pengrajin mendong. Pusat pengrajin mendong di Kota Tasikmalaya ada di daerah
Kecamatan Purbaratu, Kecamatan Cibeureum,
Kecamatan Tamansari, Kecamatan Indihiang. Sedangkan pusat pengrajin mendong di
Kabupaten Tasikamalaya terdapat di Kecamatan Manonjaya,
Cineam, Karangnunggal, Karangjaya, Gunungtanjung, Sukahening, Cikatomas,
dan Salopa.
Sejarah kejayaan tanaman Mendong (Fimbristylis
Globulosa) dimulai pada Era tahun 1940 an. Saat dimana jenis tanaman ini untuk
pertama kalinya dibawa dari Pulau Sumbawa ke Pulau Jawa oleh 2 orang saudagar /
pedagang kuda dari Purbaratu Tasikmalaya yaitu Juragan Oneng dan H. Maksum.
Di Pulau yang banyak terdapat hewan kuda
tersebut, awal mulanya kedua orang saudagar dari Purbaratu ini hanya melakukan
perjalanan usaha jual beli kuda dengan penduduk setempat, namun karena sering
melakukan perjalanan usaha ke daerah tersebut, lama kelamaan mereka mulai
menyadari keunikan lain selain hewan kuda yaitu topi yang dikenakan oleh
penduduk setempat. Topi yang dianyam secara sederhana tersebut terbuat dari
tanaman yang sama sekali belum dikenal oleh kedua orang saudagar ini, sehingga
muncullah ide untuk membawa benih tanaman ini untuk dikembangbiakkan atau
dibudidayakan di tanah kelahiran mereka yaitu di Purbaratu Tasikmalaya.
Di Purbaratu benih tanaman ini lalu diserahkan
ke orang tua H. Maksum yaitu H. Aripin seorang pengusaha tenun kain sarung
untuk segera ditanamkan di sawah milik orang tuanya tersebut. Sekedar untuk
memudahkan menyebut tanaman ini, mereka lalu sepakat untuk memberi nama
“MENDONG” yaitu singkatan dari dimemen (disayang) bari digandong (dipangku)
sesuai dengan perlakuan Juragan Oneng dan H. Maksum saat membawa tanaman ini dari
Pulau Sumbawa ke Pulau Jawa.
Beruntung, Mendong berada ditangan orang yang
tepat yaitu seorang ahli tenun, oleh H. Aripin mendong kemudian dirancang dan
diciptakan menjadi anyaman tikar / alas duduk hingga ciptaannya tersebut
bertahan sampai sekarang.
Seiring dengan perkembangan waktu, tikar
mendongpun mengalami beberapa kali perubahan baik bentuk maupun coraknya.
Semula tikar mendong buatan H. Aripin diciptakan hanya pada fungsinya sebagai
alas duduk tanpa corak atau polos, kemudian oleh perajin mendong dari Purbaratu
yang lain yaitu Bapak Damirin dimodifikasi dengan teknik pencelupan warna
sehingga terciptalah tikar mendong yang lebih indah dan artistik. Tikar mendong
bercorak buatan Bapak Damirin tersebut dikenal dengan tikar mendong Poleng
Damirin.
Pada tahun 1982, tikar mendong kembali
dimodifikasi bentuknya menjadi lebih praktis oleh H. Mansyur. Yang semula tikar
harus digulung jika mau disimpan, maka oleh H. Mansyur diciptakan tikar mendong
yang bisa disimpan dengan cara dilipat.
Selang 12 tahun kemudian yaitu pada tahun
1994, H. Mansyur bersama dengan H. Munir adalah salah satu perajin taplak meja
yang dibuat dari bambu asal Majalaya Bandung membuat terobosan baru pada motif
dan corak anyaman mendong hingga tercipta corak anyaman yang lebih atraktif dan
modis bahkan sempat menjadi trend. Orang mengenal corak anyaman mending ciptaan
kedua orang tersebut dengan julukan Corak Majalaya. Sekarang model dan desain
anyaman mendong sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat dan bervariasi baik
bentuk maupun coraknya seperti yang dilakukan oleh para perajin anyaman mendong
asal kampung Gawir Manonjaya dengan membuat anyaman mendong dengan motif kain
songket.
Dari kronologis penyebaran tanaman mendong di
Pulau Jawa, tercatat pada pertengahan tahun 1970 an. Seorang pedagang keliling
asal Jogjakarta yang sering singgah di Purbaratu bernama Mas Darmo, sengaja
membawa beberapa benih mendong sebagai oleh-oleh untuk ditanam dikampung
halamannya Jogjakarta. Kemudian dari Jogjakarta inilah tanaman mendong bisa
menyebar ke seluruh pulau jawa sampai ke Jember Jawa Timur. Dari data terakhir,
sekarang justru hasil budidaya mendong Jogjakarta dan Jember inilah yang
menjadi penyuplai utama bahan baku mendong ke perajin anyaman mendong di
Tasikmalaya.
Sungguh ironis memang, jika kita menyimak
riwayat mendong. Kota Tasikmalaya yang memiliki sejarah kejayaan mendong paling
ternama tetapi sekarang jika kita perlu mendong justru harus membeli dari kota
lain. Tentunya ini menjadi bahan renungan dan PR kita bersama sebagai ahli
waris dari kerja keras para leluhur kita untuk mengembalikan masa kejayaan
Tasikmalaya sebagai Kota Mendong paling terkenal di seluruh Nusantara.
Mendong
adalah salah satu tumbuhan yang hidup di rawa, tanaman ini tumbuh di daerah
yang berlumpur dan memiliki air yang cukup. Mendong merupakan salah satu jenis
rumput, dan biasanya tumbuh dengan panjang lebih kurang 100cm. Di daerah
Kecamatan Purbaratu, Kota Tasikmalaya, mendong biasanya dijadikan bahan dasar
untuk pembuatan tikar. dan sebelum di pergunakan, tanaman ini dijemur terlebih
dahulu hingga kering.
Kerajinan mendong sudah sangat terkenal berasal dari
Tasikmalaya. Mulai dari tikar,tempat pensil, dompet, tempat
sampah, tempat tisu, tempat toples, tas,pigura dan lainnya banyak dihasilkan para
pengrajin mendong. Pusat pengrajin mendong di Kota Tasikmalaya ada di daerah
Kecamatan Purbaratu, Kecamatan Cibeureum,
Kecamatan Tamansari, Kecamatan Indihiang. Sedangkan pusat pengrajin mendong di
Kabupaten Tasikamalaya terdapat di Kecamatan Manonjaya,
Cineam, Karangnunggal, Karangjaya, Gunungtanjung, Sukahening, Cikatomas,
dan Salopa.
Sejarah kejayaan tanaman Mendong (Fimbristylis
Globulosa) dimulai pada Era tahun 1940 an. Saat dimana jenis tanaman ini untuk
pertama kalinya dibawa dari Pulau Sumbawa ke Pulau Jawa oleh 2 orang saudagar /
pedagang kuda dari Purbaratu Tasikmalaya yaitu Juragan Oneng dan H. Maksum.
Di Pulau yang banyak terdapat hewan kuda
tersebut, awal mulanya kedua orang saudagar dari Purbaratu ini hanya melakukan
perjalanan usaha jual beli kuda dengan penduduk setempat, namun karena sering
melakukan perjalanan usaha ke daerah tersebut, lama kelamaan mereka mulai
menyadari keunikan lain selain hewan kuda yaitu topi yang dikenakan oleh
penduduk setempat. Topi yang dianyam secara sederhana tersebut terbuat dari
tanaman yang sama sekali belum dikenal oleh kedua orang saudagar ini, sehingga
muncullah ide untuk membawa benih tanaman ini untuk dikembangbiakkan atau
dibudidayakan di tanah kelahiran mereka yaitu di Purbaratu Tasikmalaya.
Di Purbaratu benih tanaman ini lalu diserahkan
ke orang tua H. Maksum yaitu H. Aripin seorang pengusaha tenun kain sarung
untuk segera ditanamkan di sawah milik orang tuanya tersebut. Sekedar untuk
memudahkan menyebut tanaman ini, mereka lalu sepakat untuk memberi nama
“MENDONG” yaitu singkatan dari dimemen (disayang) bari digandong (dipangku)
sesuai dengan perlakuan Juragan Oneng dan H. Maksum saat membawa tanaman ini dari
Pulau Sumbawa ke Pulau Jawa.
Beruntung, Mendong berada ditangan orang yang
tepat yaitu seorang ahli tenun, oleh H. Aripin mendong kemudian dirancang dan
diciptakan menjadi anyaman tikar / alas duduk hingga ciptaannya tersebut
bertahan sampai sekarang.
Seiring dengan perkembangan waktu, tikar
mendongpun mengalami beberapa kali perubahan baik bentuk maupun coraknya.
Semula tikar mendong buatan H. Aripin diciptakan hanya pada fungsinya sebagai
alas duduk tanpa corak atau polos, kemudian oleh perajin mendong dari Purbaratu
yang lain yaitu Bapak Damirin dimodifikasi dengan teknik pencelupan warna
sehingga terciptalah tikar mendong yang lebih indah dan artistik. Tikar mendong
bercorak buatan Bapak Damirin tersebut dikenal dengan tikar mendong Poleng
Damirin.
Pada tahun 1982, tikar mendong kembali
dimodifikasi bentuknya menjadi lebih praktis oleh H. Mansyur. Yang semula tikar
harus digulung jika mau disimpan, maka oleh H. Mansyur diciptakan tikar mendong
yang bisa disimpan dengan cara dilipat.
Selang 12 tahun kemudian yaitu pada tahun
1994, H. Mansyur bersama dengan H. Munir adalah salah satu perajin taplak meja
yang dibuat dari bambu asal Majalaya Bandung membuat terobosan baru pada motif
dan corak anyaman mendong hingga tercipta corak anyaman yang lebih atraktif dan
modis bahkan sempat menjadi trend. Orang mengenal corak anyaman mending ciptaan
kedua orang tersebut dengan julukan Corak Majalaya. Sekarang model dan desain
anyaman mendong sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat dan bervariasi baik
bentuk maupun coraknya seperti yang dilakukan oleh para perajin anyaman mendong
asal kampung Gawir Manonjaya dengan membuat anyaman mendong dengan motif kain
songket.
Dari kronologis penyebaran tanaman mendong di
Pulau Jawa, tercatat pada pertengahan tahun 1970 an. Seorang pedagang keliling
asal Jogjakarta yang sering singgah di Purbaratu bernama Mas Darmo, sengaja
membawa beberapa benih mendong sebagai oleh-oleh untuk ditanam dikampung
halamannya Jogjakarta. Kemudian dari Jogjakarta inilah tanaman mendong bisa
menyebar ke seluruh pulau jawa sampai ke Jember Jawa Timur. Dari data terakhir,
sekarang justru hasil budidaya mendong Jogjakarta dan Jember inilah yang
menjadi penyuplai utama bahan baku mendong ke perajin anyaman mendong di
Tasikmalaya.
Sungguh ironis memang, jika kita menyimak
riwayat mendong. Kota Tasikmalaya yang memiliki sejarah kejayaan mendong paling
ternama tetapi sekarang jika kita perlu mendong justru harus membeli dari kota
lain. Tentunya ini menjadi bahan renungan dan PR kita bersama sebagai ahli
waris dari kerja keras para leluhur kita untuk mengembalikan masa kejayaan
Tasikmalaya sebagai Kota Mendong paling terkenal di seluruh Nusantara.